Ing sajroning katresnan kang suci, kita nyuwun donga pangestu saking panjenengan sedaya, mugi rahayu lan kasembadan ing bebrayan agung.
Mario bertemu dengan Jessica pada suatu sore Selasa yang hujan, di sebuah kedai kopi kecil di sudut lingkungan, di antara toko buku dan toko bunga. Mario basah kuyup karena lupa membawa payung, sementara Jessica sedang menyeruput chai latte sambil membaca buku, duduk nyaman di dekat jendela. Saat Mario terpeleset di lantai yang basah dan hampir menjatuhkan kopinya, Jessica tertawa—pelan tapi tulus—dan memberinya tisu. Tatapan mereka bertemu, dan entah bagaimana, rasanya seperti matahari mengintip dari balik awan hanya untuk mereka berdua.
Seminggu kemudian, setelah beberapa pesan dan satu panggilan telepon yang agak canggung, Mario mengajak Jessica berkencan. Ia membawanya ke kebun botani kota, berpikir bahwa bunga dan sinar matahari akan cocok dengan energi hangat Jessica. Mereka menyusuri jalan setapak yang dipenuhi bunga, tenggelam dalam obrolan tentang kenangan masa kecil, film favorit, dan camilan rahasia yang mereka sukai diam-diam. Hari itu ditutup dengan duduk di bangku taman sambil berbagi satu cone es krim stroberi—Mario tak sengaja kena di hidung, Jessica membersihkannya, dan tak satu pun dari mereka ingin momen itu berakhir.
Dua tahun kemudian, di bangku yang sama tempat mereka berbagi es krim pertama, Mario mengeluarkan sebuah kotak kecil berlapis beludru. Kotak itu ia sembunyikan di dalam buket bunga aster favorit Jessica, dengan gugup tapi tersenyum lebar seperti anak kecil di pagi Natal. Jessica terperangah, air mata sudah menggenang di matanya bahkan sebelum Mario mengucapkan sepatah kata pun. “Kamu adalah petualangan terindahku,” bisiknya, “Maukah kamu jadi milikku selamanya?” Jessica mengangguk sambil terisak bahagia, dan saat itu juga, gadis di dekat jendela dan pria yang terpeleset di lantai saling berjanji untuk selamanya.